Media massa baik cetak maupun elektronik telah saut sambut menginfokan berita tragedi seorang model cantik Manohara Odelia Pinot (Mano) yang diperisterikan Tengku Muahmmad Fakhry, pangeran dari Kesultanan Kelantan Malaysia, yang mengalami Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) yang dilakukan oleh suami dan keluarga Kesultanan. Dengan berbagai motiv kekerasan yang dilakukan, seperti penyekapan Manohara dalam kamar istana, pengawalan yang ketat dari bodyguard istana, dan terbatasnya ruang gerak seorang isteri sultan, nafkah lahir tak tercukupi, dan masih banyak motiv KDRT lain yang menimpa Manohara, bahkan tatkala Manohara diajak jalan-jalan, Manohara harus pakai perhiasan sebanyak-banyak, Manohara harus berpura-pura romantis dengan Fakhry, karena banyak wartawan yang memotret. Semua itu hanyalah patamurgana. ”Senyumku adalah jeritan tangis bathinku (Manohara)”.
Peristiwa ini telah banyak mengudang perhatian masyarakat, bukan hanya masyarakat Indonesia dan Malaysia, tetapi tentunya info itu merambat menjadi berita mancanegara. Ironis tentunya bagi masyarakat menafsirkan tentang seorang model cantik yang bersuamikan tuan muda raja kesultanan, yang berlimpah harta dan bertatahkan permadani, yang tak pernah merasakan kesulitan hidup, kekurangan makanan, gizi buruk dan sebagainya. Ungkapan itu tentunya akan muncul dibenak siapa saja yang menyaksikan pernikahan Manohara dengan Tengku Fakhry pada tanggal 28 Agustus 2008 lalu, tapi kenyataannya tak selamanya harta dan kedudukan tinggi membawa kebahagiaan dan ketenangan bathin, hingga akhirnya penilaian masyarakat Indonesia yang dulu terharu dan bahagia seorang keluarga Kesultanan Kelantan Malaysia telah mempersunting putri asal Indonesia yang cantik dan anggun, akhirnya berbalik 99 % dari penilain positif menjadi negative doble.
Drama Manohara diatas adalah salah satu contoh dari ribuan contoh kasus penyiksaan wanita Indonesia di Malaysia. Kalau kita kilas ke belakang akan sejarah penyiksaan wanita Indonesia, maka tentunya fikiran kita akan tertuju kepada Tenaga Kerja Wanita Indonesia (TKW) yang disiksa majikannya dengan sadis, bahkan ada yang meninggal dunia. Manohara saja disiksa apalagi non-Manohara. Merenunglah Masyarakat Indonesia.
Dalam tulisan ini, saya juga akan menyampaikan dan bertanya pada kita semua (masyarakat Indonesia) sebenarnya ada apa antara Indonesia dengan Malaysia? Bukankah dua Negara Bikateral ini menjalin hubungan baik-baik saja, bahkan kalau kita melihat di Televisi, bahwa stasiun televise Indonesia berkerjasama dengan stasiun televisi Malaysia untuk memberitakan peristiwa yang terjadi di Malaysia dan Peristiwa yang terjadi di Indonesia, tapi kenapa Malaysia banyak menyiksa orang Indonesia?. Itulah tentunya pertanyaan yang membutuhkan jawaban pasti dan ditunggu oleh masyarakat Indoensia.
Menarik intisari dari Drama Manohara diatas bahwa ternyata harta dan kekayaan itu tidak selamanya menjadi ukuran untuk orang bisa bahagia, ternyata kebahagiaan itu hanya milik hati bukan mata (pandangan) dan khayalan. Banyak orang kaya, tapi hatinya gelisah, banyak orang kaya, tapi hidupnya merana. Senyumnya orang kaya, tapi hatinya menangis, sedihnya orang kaya, hatinya yang sakit. Kalau kekayaan itu milik hati, maka semua orang bisa kaya, karena kaya yang hakiki adalah kaya hati, kaya budi, dan kaya perangai. Bukan itu semua adalah ajaran agama kepada semua umatnya.
Kisah pilu yang menimpa wanita 17 tahun itu cukuplah menjadi pelajaran (ibroh) buat umat manusia di dunia, khususnya masyarakat Indonesia, jangan mudah tergoda dengan kemilau harta dunia dengan merelakan anaknya dinikahi oleh konglamerat tapi melarat. Jadikan kasus Manohara sebagai qudwah hasanah untuk tidak melakukannya lagi. Sudah bayak air mata berjatuhan di Negara kita. Kekerasan Dalam Rumah Tangga sudah ribuan kasus terjadi di masyarakat kita. Bukan cuma laki-laki sebagai pelaku, tetapi juga dari kalangan perempuan, hingga Indonesia telah membuat UU KDRT, dengan tujuan untuk melidungi kaum wanita dari penganiayaan, kekerasan, dan mengankat derajat kaum wanita (tapi ‘nggak naik-naik).
Alhasil. Belajar dari kisah yang menimpa Manohara itu, menyadarkan kita akan hidup sederhana jauh lebih utama, dari pada hidup bergelimang harta. Kalau orang bijak mengatakan: “Lebih baik makan singkong betulan, dari pada makan roti dalam mimpi”. Harapku: Jangan ada Manoharadisme lagi terjadi. Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam bi al-Showwab.
Peristiwa ini telah banyak mengudang perhatian masyarakat, bukan hanya masyarakat Indonesia dan Malaysia, tetapi tentunya info itu merambat menjadi berita mancanegara. Ironis tentunya bagi masyarakat menafsirkan tentang seorang model cantik yang bersuamikan tuan muda raja kesultanan, yang berlimpah harta dan bertatahkan permadani, yang tak pernah merasakan kesulitan hidup, kekurangan makanan, gizi buruk dan sebagainya. Ungkapan itu tentunya akan muncul dibenak siapa saja yang menyaksikan pernikahan Manohara dengan Tengku Fakhry pada tanggal 28 Agustus 2008 lalu, tapi kenyataannya tak selamanya harta dan kedudukan tinggi membawa kebahagiaan dan ketenangan bathin, hingga akhirnya penilaian masyarakat Indonesia yang dulu terharu dan bahagia seorang keluarga Kesultanan Kelantan Malaysia telah mempersunting putri asal Indonesia yang cantik dan anggun, akhirnya berbalik 99 % dari penilain positif menjadi negative doble.
Drama Manohara diatas adalah salah satu contoh dari ribuan contoh kasus penyiksaan wanita Indonesia di Malaysia. Kalau kita kilas ke belakang akan sejarah penyiksaan wanita Indonesia, maka tentunya fikiran kita akan tertuju kepada Tenaga Kerja Wanita Indonesia (TKW) yang disiksa majikannya dengan sadis, bahkan ada yang meninggal dunia. Manohara saja disiksa apalagi non-Manohara. Merenunglah Masyarakat Indonesia.
Dalam tulisan ini, saya juga akan menyampaikan dan bertanya pada kita semua (masyarakat Indonesia) sebenarnya ada apa antara Indonesia dengan Malaysia? Bukankah dua Negara Bikateral ini menjalin hubungan baik-baik saja, bahkan kalau kita melihat di Televisi, bahwa stasiun televise Indonesia berkerjasama dengan stasiun televisi Malaysia untuk memberitakan peristiwa yang terjadi di Malaysia dan Peristiwa yang terjadi di Indonesia, tapi kenapa Malaysia banyak menyiksa orang Indonesia?. Itulah tentunya pertanyaan yang membutuhkan jawaban pasti dan ditunggu oleh masyarakat Indoensia.
Menarik intisari dari Drama Manohara diatas bahwa ternyata harta dan kekayaan itu tidak selamanya menjadi ukuran untuk orang bisa bahagia, ternyata kebahagiaan itu hanya milik hati bukan mata (pandangan) dan khayalan. Banyak orang kaya, tapi hatinya gelisah, banyak orang kaya, tapi hidupnya merana. Senyumnya orang kaya, tapi hatinya menangis, sedihnya orang kaya, hatinya yang sakit. Kalau kekayaan itu milik hati, maka semua orang bisa kaya, karena kaya yang hakiki adalah kaya hati, kaya budi, dan kaya perangai. Bukan itu semua adalah ajaran agama kepada semua umatnya.
Kisah pilu yang menimpa wanita 17 tahun itu cukuplah menjadi pelajaran (ibroh) buat umat manusia di dunia, khususnya masyarakat Indonesia, jangan mudah tergoda dengan kemilau harta dunia dengan merelakan anaknya dinikahi oleh konglamerat tapi melarat. Jadikan kasus Manohara sebagai qudwah hasanah untuk tidak melakukannya lagi. Sudah bayak air mata berjatuhan di Negara kita. Kekerasan Dalam Rumah Tangga sudah ribuan kasus terjadi di masyarakat kita. Bukan cuma laki-laki sebagai pelaku, tetapi juga dari kalangan perempuan, hingga Indonesia telah membuat UU KDRT, dengan tujuan untuk melidungi kaum wanita dari penganiayaan, kekerasan, dan mengankat derajat kaum wanita (tapi ‘nggak naik-naik).
Alhasil. Belajar dari kisah yang menimpa Manohara itu, menyadarkan kita akan hidup sederhana jauh lebih utama, dari pada hidup bergelimang harta. Kalau orang bijak mengatakan: “Lebih baik makan singkong betulan, dari pada makan roti dalam mimpi”. Harapku: Jangan ada Manoharadisme lagi terjadi. Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam bi al-Showwab.
0 komentar:
Posting Komentar