Busana pada dasarnya adalah bertujuan untuk menutup kulit dari terik matahari dan hujan. Di samping itu juga busana adalah untuk mempercantik diri atau sebagai hiasan tubuh bagi manusia, tentunya dalam pandangan Islam bahwa busana/pakaian bertujuan untuk menutup aurat, yang tentunya ada ketentuan lain di dalam memberikan kategori aurat bagi laki-laki dan perempuan.
Di dunia yang penuh dengan pergeseren nilai dan budaya yang diistilahkan dengan zaman globalisasi yang banyak diartikan manusia sebagai zaman trend yang semuanya serba gaul dan fanky, bukan hanya dari segi pakaian dan busana saja tetapi sudah menyentuh pada ranah-ranah asesoris lainnya termasuk juga rambut kepala yang kebanyakan orang merubah motif dari yang keriting menjadi lurus, dan dari yang lurus menjadi keriting, dari rambut panjang dipendekan bagi perempuan dan yang pendek di panjang bagi laki-laki. Kemudian dilanjutkan dengan merubah warna rambut dari asalnya warna hitam di rubah menjadi warna-warna. Semuanya ini adalah pengaruh budaya yang di salah artikan. Kendatipun demikian dengan adanya pergeseren nilai tersebut tentunya banyak hal yang negatif yang justru didapatkan oleh manusia yang terseret ke arus modernisasi tersebut.
Lain halnya lagi dengan busana/pakaian yang merupakan bahan primer bagi kehidupan manusia justru telah bergeser nilai dan ke-eksistensi-nya dalam kehidupan bermasyarakat. Melihat satu realita yang ada bahwa banyak motif dan bentuk pakaian yang kita dapatkan di toko-toko, mall, swalayan bahkan di sepanjang pinggir jalan, tentunya akan menarik konsumen untuk membeli dan menggunakannya, Mulai dari motif pakaian yang ketat/mini sampai kepada busana muslim.
Busana muslim yang di kenal banyak orang adalah busana yang layak dan pantas digunakan oleh kaum wanita pada umunya, yang motif dan bentuknya juga berbeda-beda, tentunya busana muslim tersebut termasuk adalah jilbab yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari busana muslimah tersebut. Tetapi perlu dikaji ulang bahwa jilbab itu adalah bertujuan untuk menutupi aurat bagi perempuan, tentunya jilbab mempunyai peran yang sangat penting bagi kehidupan perempuan muslimah.
Sampai akhir dekade 80an, jilbab masih dipandang sebelah mata. Wanita berjilbab identik dengan kekolotan dan kekunoan. Siswa, mahasiswa atau dosen berjilbab identik dengan fundamentalisme yang diterjemahkan sebagai fanatisme radikal yang harus dicurigai atau dibabat habis. Sementara dalam dunia kerja, jilbab diidentikkan dengan subyektivitas yang tidak profesional, kinerja yang tidak produktif, dan performance yang tidak ‘menjual,’ sehingga wanita berjilbab dilarang masuk ke dalam lingkungan kerja, dan bila memutuskan berkarir kerap dihambat dengan alasan-alasan struktural.
Kini, wanita berjilbab tak kurang jumlahnya dibandingkan, katakanlah, tahun 1970an ketika busana mini sedang in, dan kala jilbab atau kerudung dianggap norak serta kampungan. Sejumlah institusi belakangan secara terbuka memberikan tempat bagi mereka yang berkeinginan untuk berjilbab sembari berkiprah dalam dunia kerja maupun dalam menuntut ilmu. Banyak public figure, mulai dari artis, pejabat papan atas, dan pesohor lainnya mengenakan jilbab dan tak ragu lagi berbusana muslim dalam berbagai acara di ruang publik. Fenomena ini muncul seiring dengan kian banyaknya berbagai organisasi, komersial maupun non komersial, yang ramai-ramai melembagakan diri di bawah label institusi keislaman. Pemunculan lembaga-lembaga keuangan syariah, misalnya, menjadi salah satu contoh yang aktual.
Di dunia yang penuh dengan pergeseren nilai dan budaya yang diistilahkan dengan zaman globalisasi yang banyak diartikan manusia sebagai zaman trend yang semuanya serba gaul dan fanky, bukan hanya dari segi pakaian dan busana saja tetapi sudah menyentuh pada ranah-ranah asesoris lainnya termasuk juga rambut kepala yang kebanyakan orang merubah motif dari yang keriting menjadi lurus, dan dari yang lurus menjadi keriting, dari rambut panjang dipendekan bagi perempuan dan yang pendek di panjang bagi laki-laki. Kemudian dilanjutkan dengan merubah warna rambut dari asalnya warna hitam di rubah menjadi warna-warna. Semuanya ini adalah pengaruh budaya yang di salah artikan. Kendatipun demikian dengan adanya pergeseren nilai tersebut tentunya banyak hal yang negatif yang justru didapatkan oleh manusia yang terseret ke arus modernisasi tersebut.
Lain halnya lagi dengan busana/pakaian yang merupakan bahan primer bagi kehidupan manusia justru telah bergeser nilai dan ke-eksistensi-nya dalam kehidupan bermasyarakat. Melihat satu realita yang ada bahwa banyak motif dan bentuk pakaian yang kita dapatkan di toko-toko, mall, swalayan bahkan di sepanjang pinggir jalan, tentunya akan menarik konsumen untuk membeli dan menggunakannya, Mulai dari motif pakaian yang ketat/mini sampai kepada busana muslim.
Busana muslim yang di kenal banyak orang adalah busana yang layak dan pantas digunakan oleh kaum wanita pada umunya, yang motif dan bentuknya juga berbeda-beda, tentunya busana muslim tersebut termasuk adalah jilbab yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari busana muslimah tersebut. Tetapi perlu dikaji ulang bahwa jilbab itu adalah bertujuan untuk menutupi aurat bagi perempuan, tentunya jilbab mempunyai peran yang sangat penting bagi kehidupan perempuan muslimah.
Sampai akhir dekade 80an, jilbab masih dipandang sebelah mata. Wanita berjilbab identik dengan kekolotan dan kekunoan. Siswa, mahasiswa atau dosen berjilbab identik dengan fundamentalisme yang diterjemahkan sebagai fanatisme radikal yang harus dicurigai atau dibabat habis. Sementara dalam dunia kerja, jilbab diidentikkan dengan subyektivitas yang tidak profesional, kinerja yang tidak produktif, dan performance yang tidak ‘menjual,’ sehingga wanita berjilbab dilarang masuk ke dalam lingkungan kerja, dan bila memutuskan berkarir kerap dihambat dengan alasan-alasan struktural.
Kini, wanita berjilbab tak kurang jumlahnya dibandingkan, katakanlah, tahun 1970an ketika busana mini sedang in, dan kala jilbab atau kerudung dianggap norak serta kampungan. Sejumlah institusi belakangan secara terbuka memberikan tempat bagi mereka yang berkeinginan untuk berjilbab sembari berkiprah dalam dunia kerja maupun dalam menuntut ilmu. Banyak public figure, mulai dari artis, pejabat papan atas, dan pesohor lainnya mengenakan jilbab dan tak ragu lagi berbusana muslim dalam berbagai acara di ruang publik. Fenomena ini muncul seiring dengan kian banyaknya berbagai organisasi, komersial maupun non komersial, yang ramai-ramai melembagakan diri di bawah label institusi keislaman. Pemunculan lembaga-lembaga keuangan syariah, misalnya, menjadi salah satu contoh yang aktual.
0 komentar:
Posting Komentar